Ini Puisi Biasa
Pedang Berkarat
Karya: Ramadhani Zifa Pramesthi
Pagi, siang dan petang yang berkejaran
Bersama sendi-sendi yang mulai kepayahan
Pria itu terus berjalan
Mengambil ancang-ancang, mulai menyebrang
Ini adalah
pembukaan
Dari
perjalanan yang ia kisahkan
Ia
dan dia adu pandang
Sumpah,
katanya, gelisahnya seperti akan berperang
Tatapnya
yang menyelidik
Aku
sudah tak larat berkutik
Dia ingin
tahu ke mana saja kapalku berlayar
Tidak, kataku, aku ini kapal yang tak punya sandaran
Dia bertanya, adakah kertas-kertas yang memujiku
Kujawab, tidak,
aku tak layak
Setelah itu, dia terdiam tak lagi bertanya
Aku tahu
arti tatapannya
Tatapan
yang menyuruhku segera angkat kaki dari sana
Aku
tidak diterima
Lelah
dan keringatku terlepas sia-sia
Dasi
motif garis-garis ini juga tak ada harga dirinya
Aku
dicampakkan karena kurang pendidikan
Aku dipekerjakan hanya untuk jadi
bawahan
Kerjaku yang begitu menggebu
Setiap saat setiap waktu mandi debu
Aku tak bisa bergaya dengan arloji
Ataupun pakai jas sambil silang kaki
Aku menjerit dalam ketertinggalan
Aku
menjerit dalam kekecewaan
Aku menjerit,
menjerit
dalam kebodoham
Menjerit dijadikan genap-genapan
Kalau
kau mau seperti raja
Bertemanlah
dengan ilmu
Asah
tajam pedang pusakamu
Jangan
macam diriku
Aku
yang mlarat, aku yang hampir sekarat
Karena
pedangku berkarat
Komentar
Posting Komentar